Sebuah situs (http://tidarheritage.org), memuat perjalanan misi Van Lith yang disebutnya ‘Misi Jawa’ Romo Van Lith. Sebab, Van Lith menjalankan misinya untuk ‘menaklukkan hati orang Jawa’ dengan menggunakan jalan kebudayaan. “Ini mengingatkan pada pendekatan para wali (songo) ketika mereka menjalankan misi penyebaran agama Islam.
Mungkin Van Lith juga belajar dari para wali itu, bahwa orang Jawa tidak mudah menerima suatu ajaran atau budaya baru dengan begitu saja, apalagi dengan cara-cara pemaksaan.”
Kebudayaan Jawa lebih mudah ‘menyerap’ budaya baru itu, menjadi ‘Jawa baru’ atau hibriditasi. Seperti halnya ‘Islam Jawa’, dalam praktek-praktek ritualnya agama Katholik di
Jawa juga akrab dengan idiom budaya Jawa seperti penggunaan bahasa, gamelan atau tembang-tembang Jawa, serta yang paling kontemporer adalah wayang ukur (wayang kulit dengan cerita Yesus).
Contoh kisah yang dipandang sebagai bentuk sukses misi Van Lith dalam mengkatolikkan orang Jawa terjadi tahun 1904, ketika Van Lith mempermandikan sekitar 173 orang dari Desa Kalibawang, Kulon Progo. Mereka serentak dibaptis di sebuah sendang, yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal Sendang Sono. “Pertobatan dalam jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi Jawa ... Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa ... tanpa ada hasilnya. Justru daerah yang belum pernah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith, seperti dikutip oleh situs tersebut.
Jadi, itulah misi utama Frans Van Lith: Menjalankan misi Katolik di Tanah Jawa. Jika ditelaah, kedatangan van Lith ke Indonesia sebenarnya bertepatan dengan era kebijakan pemerintah kolonial yang semakin kuat dalam menyokong misi Kristen di Indonesia. Pada 1888, Menteri Urusan Kolonial, Keuchenis, menyatakan dukungannya terhadap semua organisasi misionaris dan menyerukan agar mereka menggalang kerjasama dengan pemerintah Belanda untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh Islam. J.T. Cremer, Menteri untuk Urusan Kolonial lain, dengan semangat yang sama, juga menganjurkan agar kegiatan-kegiatan misionaris dibantu, karena hal itu -- dalam pandangannya -- akan melahirkan "peradaban, kesejahteraan, keamanan, dan keteraturan. (Lihat, Alwi Shihab, Membendung Arus, 1998, hal. 147.
Dalam sebuah pidato resminya, Ratu Belanda antara lain menegaskan, "Sebagai sebuah bangsa Kristen, Belanda punya kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang Kristen pribumi di kepulauan Nusantara, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi, dan untuk memberitahukan kepada seluruh jajaran pemerintah bahwa bangsa Belanda punya kewajiban moral terhadap penduduk di daerah-daerah itu."
Pada 1901, Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen, ditunjuk sebagai Perdana Menteri, menyusul kekalahan Partai Liberal oleh koalisi partai-partai kanan dan agama. Alexander Idenburg, yang di masa mudanya pernah bercita-cita sebagai misionaris, mengambil alih kantor pemerintah kolonial. Kebijakan selama 50 tahun yang kurang lebih bersifat "netral agama" diubah menjadi kebijakan yang secara terang-terangan mendukung misi Kristen.
Berbagai subsidi terhadap sekolah Kristen dan lembaga misi yang semua ditolakkarena dikhawatirkan memancing reaksi keras kaum Muslim, mulai diberikan secara besar-besaran.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa netralitas dalam agama adalah ilusi belaka. Idenburg yang menjabat Gubernur Jenderal dari 1906-1916, terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap kegiatan misi di Indonesia. Dalam salah satu laporannya kepada pemerintah pusat, ia mengatakan, "Saya cukup sibuk dengan Kristenisasi atas daerah-daerah pedalaman."
Bagi pemerintah kolonial, ancaman dari mereka yang sudah masuk Kristen akan lebih kecil dibandingkan dari kaum Muslim, karena kaum Kristen lebih dapat diajak kerjasama. Tujuan pemerintah kolonial dan misionaris dapat dikerjasamakan. Di satu pihak, pemeritah kolonial memandang koloni mereka sebagai tempat mengeruk keuntungan finansial. Di sisi lain, misionaris memandang koloni mereka sebagai tempat yang diberikan Tuhan untuk memperluas "Kerajaan Tuhan". (Alwi Shihab, Membandung Arus, hal.37-42; Delier Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, 1990, hal.184-188).
Sikap Islam
Masyarakat Misi Belanda (Dutch Mission Society) yang berdiri tahun 1847 memprioritaskan kerja misionaris ke Indonesia, karena negara yang masyarakatnya sangat bersahabat itu terbukti sulit "ditembus" misi Kristen. Faktor Islam dituding sebagai penyebab kesulitan masuknya misi Injil ke Indonesia. Hendrik Kraemer, seorang misionaris yang ditugaskan Masyarakat Bibel Belanda (Dutch Bible Society) untuk bekerja di Indonesia tahun 1921, menggambarkan kesulitan mengkristenkan kaum Muslim, melalui ungkapannya:
"Islam sebagai masalah misi: tidak ada agama yang untuk (mengkonversi)-nya misi harus membanting tulang dengan hasil yang minimal, dan untuk menghadapinya misi harus mengais-ngaiskan jemarinya hingga berdarah dan terluka, selain Islam. (Dia lanjutkan lagi) yang menjadi teka-teki dari Islam adalah: meskipun sebagai agama kandungannya sangat dangkal dan miskin, Islam melampaui semua agama di dunia dalam hal kekuasaan yang dimiliki, yang dengan itu agama tersebut mencengkeram erat semua yang memeluknya." (Alwi Shihab, Membendung Arus, hal. 38).
Dalam perspektif inilah, kita bisa memahami, mengapa kaum Katolik sangat mengagungkan tokoh misionaris seperti Van Lith. Ia dianggap sebagai sosok yang mampu menjebol pertahanan orang Jawa yang sebelumnya telah menyatu dengan budaya Islam. Bagi umat Islam, pemurtadan dipandang sebagai usaha serius sebagai bentuk penyerangan aqidah Islam. Orang yang keluar dari Islam disebut murtad dari agama Allah. Amalnya sia-sia. Amal-amal orang kafir laksana fatamorgana. (QS 24:39).
Kaum Muslim memahami, upaya-upaya penyesatan atau pemurtadan terhadap kaum Muslim bukanlah hal aneh. Disebutkan dalam al-Quran, yang artinya: "Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup." (QS Al Baqarah:217).
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannam orang-orang kafir itu akan dikumpulkan." (QS Al Anfal:36).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Prof. Hamka menulis dalam Tafsir al-Azhar Juzu’ IX):
"Perhatikanlah betapa di zaman sekarang, orang-orang menghambur-hamburkan uang berjuta-juta dolar tiap tahun, bahkan tiap bulan, untuk menghalang-halangi jalan Allah yang telah dipegang teguh oleh kaum Muslimin. Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam. Diantara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya. Demikian juga propaganda anti-agama, mencemohkan agama, dan menghapuskan kepercayaan sama sekali kepada adanya Allah, itu pun dikerjakan pula oleh orang kafir dengan mengeluarkan belanja yang besar. Yang menjadi sasaran tiada lain dari pada negeri-negeri Islam. Disamping itu ada lagi usaha merusakkan moral pemuda di negeri-negeri Islam, dengan menyebarluaskan majalah-majalah, buku-buku yang menimbulkan rangsangan nafsu dan syahwat, gambar-gambar porno, film-film cabul perusak jiwa pemuda yang baru bangkit pancaroba. Sasarannya tidak lain melainkan pemuda-pemuda di negeri Islam juga." Wallahu a’lam bish-shawab.*/Solo, 2 Juni 2013
Dicuplik dari : www.hidayatullah.com/read/28822/02/06/2013/“150-tahun-frans-van-lith”-.html
“150 Tahun Frans Van Lith” ole Dr. Adian Husaini
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.