nu1926

Sang Pencerah dan Sang Kyai




Melihat dari judul saja anda sudah bisa mengetahui, keduanya kelihatannya sama.

Ringkasan Sang Pencerah :
Jenis Film : Drama
Produser : RAAM PUNJABI
Produksi : MVP PICTURES
Sutradara : Hanung Bramantyo


Jogjakarta 1867 -1912:
Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Ihsan Taroreh) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bid’ah /sesat


Melalui Langgar / Surau nya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah di Masjid Besar Kauman yang mengakibatkan kemarahan seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo) sehingga surau Ahmad Dahlan dirobohkan karena dianggap mengajarkan aliran sesat. Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.

Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman



Ringkasan Sang Kyai :
Jenis Film : Drama
Produser : Gope T. Samtani
Produksi : RAPI FILMS
Sutradara : Rako Prijanto

Pendudukan Jepang ternyata tidak lebih baik dari Belanda. Jepang mulai melarang pengibaran bendera merah putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan Sekerei.


KH Hasyim Asyari sebagai tokoh besar agamis saat itu menolak untuk melakukan Sekerei karena beranggapan bahwa tindakan itu menyimpang dari aqidah agama Islam. Menolak karena sebagai umat Islam, hanya boleh menyembah kepada Allah SWT. Karena tindakannya yang berani itu, Jepang menangkap KH Hasyim Asyari. 

KH Wahid Hasyim, salah satu putra beliau mencari jalan diplomasi untuk membebaskan KH Hasyim Asyari. Berbeda dengan Harun, salah satu santri KH Hasyim Asyari yang percaya cara kekerasanlah yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Harun menghimpun kekuatan santri untuk melakukan demo menuntut kebebasan KH Hasyim Asyari. Tetapi harun salah karena cara tersebut malah menambah korban berjatuhan. 

Dengan cara damai KH Wahid Hasyim berhasil memenangkan diplomasi terhadap pihak Jepang dan KH Hasyim Asyari berhasil dibebaskan. 

Ternyata perjuangan melawan Jepang tidak berakhir sampai disini. Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk melimpahkan hasil bumi. Jepang menggunakan Masyumi yang diketuai KH. Hasyim Asy'ari untuk menggalakkan bercocok tanam. Bahkan seruan itu terselip di ceramah sholat Jum'at. Ternyata hasil tanam rakyat tersebut harus disetor ke pihak Jepang. Padahal saat itu rakyat sedang mengalami krisis beras, bahkan lumbung pesantren pun nyaris kosong. Harun melihat masalah ini secara harfiah dan merasa bahwa KH. Hasyim Asy'ari mendukung Jepang, hingga ia memutuskan untuk pergi dari pesantren. 

Jepang kalah perang, Sekutu mulai datang. Soekarno sebagai presiden saat itu mengirim utusannya ke Tebuireng untuk meminta KH HAsyim Asyari membantu mempertahankan kemerdekaan. KH Hasyim Asyari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi Jihad yang kemudian membuat barisan santri dan masa penduduk Surabaya berduyun duyun tanpa rasa takut melawan sekutu di Surabaya. Gema resolusi jihad yang didukung oleh semangat spiritual keagamaan membuat Indonesia berani mati. 

Di Jombang, Sarinah membantu barisan santri perempuan merawat korban perang dan mempersiapkan ransum. Barisan laskar santri pulang dalam beberapa truk ke Tebuireng. KH Hasyim Asyari menyambut kedatangan santri- santrinya yang gagah berani..tetapi air mata mengambang di matanya yang nanar

Secara singkat Film Sang Pencerah menggambarkan sejarah pendirian organisasi Muhammadiyah, sedang Sang Kyai menggambarkan menggambarkan pendirian sosok KH. Hasyim Asyari. Salah satu pendirian beliau adalah tidak mau melakukan Seikerei ( Seikerei : Gerakan membungkuk ke arah barat yang tujuannya adalah menghormat kaisar Jepang ), karena bertentangan dengan aqidah agama Islam.

Tampak pembuatan kedua film tersebut merupakan kelanjutan dari "persaingan" kedua organisasi ini sejak dari awal. Seperti ditulis dalam kompasiana yang berjudul "Muhammadiyah 1912 VS NU 1926, Luka Lama yang Kambuh".

Persetruan Muhammadiyah Vs NU, bukanlah masalah baru, bukan pula karena persoalan persoalan kecil yang mencuat kepermukaan. Rivaling Muhammadiyah Vs NU, telah terjadi sejak tahun Muhammadiyah dilahirkan Oleh seorang tokoh kontroversial di mata Islam adat, tepatnya di tahun 1912.
Islam adat atau Islam tradisional (yang tahun 1926 menamakan dirinya Nahdhatu al Ulama) memang tidak pernah bermimpi akan berhadapan dengan Muhammadiyah, yang konon disebut aliran wahaby (sebagaimana kampanye muslim tradisional yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jamaah, yang kemudian disematkan sebagai pigura Nahdhatul Ulama). Islam Tradisional yang geram melihat prilaku dakwah yang menentang adat Islam Jawaisme dan benalu benalu kejawen yang lengket hingga sekarang dalam tubuh NU, merupakan alat paling peka guna menjembatani keinginan Muslim Tradisional melebarkan dan menebarkan kebencian pada warga Muhammadiyah waktu itu, sebagai tujuan membendung arus pengungsi dari Muslim tradisonal yang sadar ke Muhammadiyah. Bahkan berkali kali KH. Ahmad Dahlan harus berhadapan dengan percobaan pembunuhan dan Ancaman dari kelompok tradisional yang merasa dirongrong keyakinannya.
Masa lalu yang suram bagi Muhammadiyah, tidak saja disebut wahaby, bahkan dalam ceramah ceramah ulama mereka, ada yang tega menyebut gerakan dakwah Muhammadiyah, sebagai kelompok kafir, sehingga ditengah masyarakat Madura sekarang terdapat anekdot yang sebenarnya illustrasi dari sebuah kenyataan, ketika ada orang NU shalat di mesjid Muhammadiyah, maka temannya yang kebetulan ikut, segera menelpon orang tuanya, katanya :” Pak si Fulan telah murtad”.
Bapaknya bertanya:”kenapa Murtad”,
Jawab teman anaknya:” Ya pak dia sekarang shalat di mesjid Muhammadiyah”.
Cerita diatas menggambarkan sebuah keadaan di republik ini yang masih mentah memahami perbedaan. Menganggap berbeda dalam satu agama bukanlah hal yang wajar, tetapi dipandang kurang ajar oleh sebagian orang.
Selain itu Peristiwa 1955, saat Nu hengkan dari Masyumi dan mendirikan partai NU yang sebelumnya adalah Ormas, tentu karena perasaan kecewa yang dirasakan oleh NU, sehingga memicu NU keluar dari barisan Masyumi, bahkan rela menerima Nasakom sebagai bagian dari republik ini.
Juga ketika Gusdur yang dinaikkan MPR (yang waktu itu Ketuanya adalah pak Amin Rais) sebagai Presiden RI. ke 4 ), lalu diturunkan dalam sidang Istiwa MPR, merupakan pukulan berat bagi NU, bahkan akibat dari persetruan itu, NU mengamuk di mana mana menghancurkan gedung gedung pendidikan Muhammadiyah, terutama di Jawa Timur (yang merupakan basis kekuatan NU), tidak sedikit sekolah sekolah Muhammadiyah yang menjadi sasaran amuk massa NU.
Tragis dan menyedihkan, karena bangsa ini masih mentah memahami perbedaan dan demokrasi. Luka lama yang kambuh kembali makin memicu ketegangan NU, ketika kelompok salafy (yang tentu banyak menggunakan mesjid mesjid Muhammadiyah sebagai corong dakwah salafy ) melakukan dakwah anti syirik sejak tahua 80-an, membuat NU semakin geram, bahkan situs resmi NU menabuhkan gendrang perang di mana dengan stetmen “kesesatan salafy Wahaby”.
Tentu sebab kumune masalah yang banyak macam ragamnya, menyempal persatuan direpublik ini terasa asing dalam mencari solusi menyatukan pendapat. Sulit rasanya menyatukan Muhammadiyah dan NU dalam satu kandang, karena yang satu bersikukuh dengan produk tradisional yang di-agamakan, dan satunya lagi melakukan pembaharuan pada post keimanan. NU tidak rela dengan sepak terjang dakwah yang selalu menyebut amalan amalan NU adalah syirik dan Bid’ah, meskipun tak pernah menyebutkan NU dalam dakwahnya. NU merasa bagian dari walisongo yang merasa paling berjasa dalam republik ini. Sehingga keterusikan NU sama saja tidak menghargai NU sebagai bagian adanya Islam di Indonesia.
Menyebut syirik dan bid’ah terhadap amalan amalan NU, sama halnya mengusik keberadaan NU yang memang embrionya adalah Muslim warisan jawa kono. Muhammadiyah yang menjadi kuda hitam perjuangan aqidah dianggap sebagai pemicu perpecahan dalam segala hal. Ini tentunya standar NU dalam menilai kelompok lain.
Akhirnya bila sekarang terjadi permasalah dalam pandangan NU dan Muhammadiyah tentang awal dan akhir Bulan ramadhan, itu sebenarnya bukan masalah baru. Karena pada hakikatnya NU yang mengklaim menggunakan Ru’yatul hilal (sambil menggandeng Depertemin Agama), tak ada bedanya dengan Muhammadiyah, Yakni tetap menggunakan Hisab, bukan ru’yat. Alasannya, karena NU atau Depertemen Agama telah memerahkan tanggal hari raya setahun seblumnya. Ini menunjukkan kelicikan ormas dan depag dalam mempermainkan awal dan akhir bulan ramadhan. Hanya saja NU yang menggunakan hisab yang sama, sengaja melebihkan sehari dari yang ditentukan Muhammadiyah, maskudnya agar bulan itu jelas terlihat tanpa halangan. Dan lebih parah lagi ashobiyahnya NU terkesangan sangat kaku, karena hanya membenarkan saksi dari orang orang yang ditunjuk oleh PB NU. Inilah kemelut yang sebenarnya terjadi dalam kedua ormas yang berbeda pikiran dalam memahmai agama, yang lebih tepat disebut individualialisme ormas.

Sekarang tentu anda bisa membaca dengan jelas kedua organisasi ini masing-masing. 

Wallahu a'lam bishowab

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.