nu1926

Serat Bayanullah, Studi Naskah Klasik Jawa

Semestinya masyarakat Jawa memiliki pemahaman yang cukup terhadap aliran pemikiran dan keagamaan menyimpang yang muncul di sekitar mereka. Terkaget-kaget dengan wacana seputar konsep bid’ah seharusnya tidak perlu terjadi. Sejumlah karya sastra lama telah memberikan peringatan yang cukup jelas tentang fenomena aliran sesat. Memang perlu disayangkan, sebagaimana nasib naskah-naskah klasik Jawa bernafas Islam lainnya, tidak banyak bisa diakses oleh kebanyakan masyarakat Jawa. Maka tidak heran, jika mereka terputus dari tradisi “wejangan” (nasihat) yang berasal dari para pendahulunya.

Serat Bayanullah merupakan salah satu karya sastra klasik Jawa yang secara khusus membicarakan aliran pemikiran dan keagamaan menyimpang. Kitab karya Raden Panji Natarata alias Raden Sasrawijaya[1] yang disusun dalam metrum tembang Macapat ini, bisa dikatakan merupakan catatan komprehensif yang mengetengahkan kritik terhadap berbagai aliran pemikiran dan keagamaan yang berkembang pada masa kehidupannya.

Naskah Serat Bayanullah pernah dimuat dalam salah satu terbitan Almanak H. Buning dengan menggunakan aksara Jawa pada tahun 1920.[2] Pada 1959, R. Tanaya[3] pernah mengumpulkan sejumlah karya Raden panji Natarata, termasuk Serat Bayanullah, dalam buku yang ia beri judul “Kalempaking Serat-serat Natarata” (Kumpulan Naskah-naskah Natarata).[4] Pada 1975, Raden Bratakesawa, seorang budayawan muslim di Yogyakarta, merasa perlu menerbitkan kembali karya ini dengan menggunakan aksara latin agar diketahui masyarakat luas. Raden Bratakesawa melakukan kerja yang bersifat filologis ini dengan membandingkan antara naskah Almanak H. Buning dengan naskah lain yang masih berupa tulisan tangan. Sejumlah kesalahan penulisan, kekeliruan kalimat, atau ketidaksesuaian yang mungkin timbul dalam metrum tembang Jawa ia betulkan dengan memberikan catatan kaki.

Alur secara umum dari naskah klasik ini sebenarnya menjelaskan tentang ajaran sangkan paraning dumadi yaitu suatu ajaran khas Jawa yang mengetengahkan pembahasan tentang konsep asal mula (= sangkan) dan tujuan  (= paran) penciptaan manusia. Dalam konsep sangkan ia menjelaskan bahwa eksistensi manusia di dunia diawali dengan proses penciptaan Adam. Sedangkan paran (tujuan) manusia pada akhirnya mengarah pada upaya untuk mencapai kaswargan (masuk surga).
 
Usaha manusia untuk memasuki kaswargan ini bukan perkara yang sederhana. Berbagai cobaan dan hambatan akan senantiasa merintangi perjalanan manusia. Sejumlah aliran pemikiran dan keagamaan menyimpang akan menggelincirkan manusia dari jalan yang benar. Berangkat dari dasar pemikiran semacam inilah, Raden Panji Natarata lantas menyusun daftar sejumlah aliran pemikiran dan keagamaan menyimpang di tanah Jawa yang ia temui sepanjang proses pencarian ilmunya. Ia berharap agar masyarakat Jawa dapat memahami hal ini sehingga tidak mudah terjerembab ke dalam kesesatan.
(Ditulis oleh: Susiyanto, M.Ag)

Wallahu a'lam bishowab

Antara KH.Ahmad Dahlan & KH.Hasyim Asy'ari


KH. Ahmad Dahlan (kiri) dan KH. Hasyim Asy’ari (kanan). Keduanya ulama besar. Keduanya pendiri dan pemimpin pertama ormas terbesar di Indonesia. KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, sedangkan KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdhatul Ulama (NU). Tak banyak yang tahu, keduanya memiliki nasab yang sama yang bertemu pada Sunan Giri. Dari nasab Sunan Giri, keduanya memiliki nasab yang sampai hingga putri Rasulullah dan kemudian Rasulullah SAW. Tapi keduanya tak pernah minta untuk disebut dengan sebagai Habib atau Ahlul Bayt. Masha Allah. Semoga Allah merahmati keduanya. Amin.
 
Sunan Giri memiliki nasab sebagai berikut, Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin ’Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmat Khan bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (suami Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam). [Syihabuddin Abdul Muiz/mzf]

Bagaimana pendapat anda ?

Wallahu a'lam bishowab.

Source : http://www.muslimdaily.net/artikel/studiislam/persaudaraan-kh-ahmad-dahlan-kh-hasyim-asyari.html 

Saat KH. Hasyim Asy’ari Menyuruh Santrinya Membantu KH. Ahmad Dahlan


Berbicara tentang Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tak bisa lepas dari peran para pendiri masing-masing organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Jauh dari kesan yang selama ini terbangun di antara sebagian para pengikut dan penerus perjuangan NU dan Muhammadiyah, hubungan kedua ulama besar itu ternyata tidak buruk, bahkan penuh persaudaraan dan persahabatan.

Alkisah, menurut keterangan salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Yahya Cholil Staquf, pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Pesantren Tebuireng untuk mengadu. Santri itu bernama Basyir. Ia berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian membuat odo-odo “aneh” sehingga memancing kontroversi diantara masyarakat di kampungnya.

“Siapa namanya?” tanya KH. Hasyim Asy’ari.
“Ahmad Dahlan,” jawab Basyir.
“Bagaimana ciri-cirinya?” tanya KH. Hasyim Asy’ari lagi.
Lalu, santri Basyir menggambarkan cirri-cirinya.
“Oh! Itu Kang Darwis!” kata Hadlratusy Syaikh berseru gembira.
Ternyata KH. Hasyim Asy’ari telah mengenal KH. Ahmad Dahlan yang disebut santri Basyir telah membuat odo-odo ‘aneh’. KH. Hasyim Asy’ari mengenalnya dengan nama Darwis. Teman semajlis dalam pengajian-pengajian Syaikh Khatib Al Minangkabawi di Makkah. Mengikuti tradisi ganti nama bagi orang yang pulang dari Tanah Suci, pemilik nama kecil Muhammad Darwis itu pulang ke tanah Jawa dengan menggunakan nama Ahmad Dahlan.
“Tidak apa-apa”, kata Hadlratusy Syaikh, “yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia.”

Mengikuti nasehat kyainya, santri Basyir pun patuh. Ketika kemudian KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.
Belakangan, salah seorang putera Kyai Basyir yang bernama Ahmad Azhar terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan KH. AR Fahruddin, pada tahun 1990-1995. Namanya populer dengan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA.
[teronggosong.com/Tim Muslimdaily] 
 
Bandingkan dengan "ulama" sekarang.
 
Wallahu a'lam bishowab.
 
Source : http://www.muslimdaily.net/artikel/saat-kh-hasyim-asyari-menyuruh-santrinya-membantu-kh-ahmad-dahlan.html