Semestinya masyarakat Jawa memiliki pemahaman yang cukup terhadap
aliran pemikiran dan keagamaan menyimpang yang muncul di sekitar mereka.
Terkaget-kaget dengan wacana seputar konsep bid’ah seharusnya
tidak perlu terjadi. Sejumlah karya sastra lama telah memberikan
peringatan yang cukup jelas tentang fenomena aliran sesat. Memang perlu
disayangkan, sebagaimana nasib naskah-naskah klasik Jawa bernafas Islam
lainnya, tidak banyak bisa diakses oleh kebanyakan masyarakat Jawa. Maka
tidak heran, jika mereka terputus dari tradisi “wejangan” (nasihat) yang berasal dari para pendahulunya.
Serat Bayanullah merupakan salah satu karya sastra klasik
Jawa yang secara khusus membicarakan aliran pemikiran dan keagamaan
menyimpang. Kitab karya Raden Panji Natarata alias Raden Sasrawijaya[1] yang disusun dalam metrum tembang Macapat
ini, bisa dikatakan merupakan catatan komprehensif yang mengetengahkan
kritik terhadap berbagai aliran pemikiran dan keagamaan yang berkembang
pada masa kehidupannya.
Naskah Serat Bayanullah pernah dimuat dalam salah satu terbitan Almanak H. Buning dengan menggunakan aksara Jawa pada tahun 1920.[2] Pada 1959, R. Tanaya[3] pernah mengumpulkan sejumlah karya Raden panji Natarata, termasuk Serat Bayanullah, dalam buku yang ia beri judul “Kalempaking Serat-serat Natarata” (Kumpulan Naskah-naskah Natarata).[4]
Pada 1975, Raden Bratakesawa, seorang budayawan muslim di Yogyakarta,
merasa perlu menerbitkan kembali karya ini dengan menggunakan aksara
latin agar diketahui masyarakat luas. Raden Bratakesawa melakukan kerja
yang bersifat filologis ini dengan membandingkan antara naskah Almanak H. Buning
dengan naskah lain yang masih berupa tulisan tangan. Sejumlah kesalahan
penulisan, kekeliruan kalimat, atau ketidaksesuaian yang mungkin timbul
dalam metrum tembang Jawa ia betulkan dengan memberikan catatan kaki.
Alur secara umum dari naskah klasik ini sebenarnya menjelaskan tentang ajaran sangkan paraning dumadi yaitu suatu ajaran khas Jawa yang mengetengahkan pembahasan tentang konsep asal mula (= sangkan) dan tujuan (= paran) penciptaan manusia. Dalam konsep sangkan ia menjelaskan bahwa eksistensi manusia di dunia diawali dengan proses penciptaan Adam. Sedangkan paran (tujuan) manusia pada akhirnya mengarah pada upaya untuk mencapai kaswargan (masuk surga).
Usaha manusia untuk memasuki kaswargan
ini bukan perkara yang sederhana. Berbagai cobaan dan hambatan akan
senantiasa merintangi perjalanan manusia. Sejumlah aliran pemikiran dan
keagamaan menyimpang akan menggelincirkan manusia dari jalan yang benar.
Berangkat dari dasar pemikiran semacam inilah, Raden Panji Natarata
lantas menyusun daftar sejumlah aliran pemikiran dan keagamaan
menyimpang di tanah Jawa yang ia temui sepanjang proses pencarian
ilmunya. Ia berharap agar masyarakat Jawa dapat memahami hal ini sehingga tidak mudah terjerembab ke dalam kesesatan.
(Ditulis oleh: Susiyanto, M.Ag)Wallahu a'lam bishowab