* Hukum Tahlilan
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926
Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926
Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin.
Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli
Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan
kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap
tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut
sunnah seperti orang ‘aneh’ asing di negeri sendiri, begitu banyaknya
orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti
meninggalkan Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll.
Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan
tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan
non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para
ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk
walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut.
Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami
(para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit,
serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah
(meratapi mayit)”. (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal
514)
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan
untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya
atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat
tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH,
apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari
tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
Kutipan-kutipan tempoe doloe :
Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan
orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang
keluarganya dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315
dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933,
No. 18, hal.285)
Ibn Abbas r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia,
kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan
bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang
yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang
tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman
manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan
keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa
yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal
tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam
Akhirat”.(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong
Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa’idz bahwa
mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar
tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, hal 200)
Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al-
Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa’idz. tidak
tau siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau
bukan (hal 286). Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa
hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang
dimakruhkan dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram).
Demikian dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang
dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal
315 dalam al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th.
1933, No. 18, hal.286)
Disari dari : https://aslibumiayu.wordpress.com/2012/04/08/hukum-tahlilan-menurut-nu-silahkan-dibaca-mudah-mudahan-bermanfaat/
nu-1926 : "Lantas disebut apa Aswaja sekarang ??? Aswaja tulen atau Aswaja ~ Asal waton saja ?"
Waallahu a'lam bishowab
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.