nu1926

Sekte Gusdurian, bertobatlah sekarang (1)


Abdurrahman Wahid, seorang pelopor Islam Liberal di Indonesia (Greg Barton). Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940 M. Putra tertua dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Jakarta pada tahun 1953, kemudian masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Yogyakarta tamat tahun 1956 dan mengaji di pondok pesantren milik KH. Ali Ma‟shum. Kemudian di pondok Tegalrejo Magelang, lalu pindah ke pondok pesantren Tambak Beras Jombang pada tahun 1959-1963. 

Guru privat bahasa Inggrisnya adalah seorang tokoh GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) sebuah organisasi mantel PKI (Partai Komunis Indonesia) yang melahirkan tragedy gerakan 30 September 1965 yang kelam itu. Pada waktu menjadi murid SMEP ia sudah hafal jumlah pidato Joseph Stalin dalam bahasa Inggris. Di majalah Tempo 1997, ia pernah menulis sebuah artikel yang salah satu isinya menyatakan semenjak bersentuhan dengan Marxisme pandangannya tehadap agama Islam mengalami „perubahan'. 

Kemudian ia melanjutkan studinya ke Mesir (1964-1966) di sini ia gagal dan tidak bisa melanjutkan. Lalu ia terbang ke Baghdad dan masuk Fakultas Adab (1966-1970), namun di situ pun tidak serius belajar justru lebih sibuk berhubungan dengan partai Ba'aths, sebuah partai nasionalis yang menyerukan revolusi total dalam konsep dan nilai-nilai peradaban untuk dilebur dan dialihkan ke pangkuan sosialisme.

 Partai Ba'aths berpegang pada ide sekuler yang melemparkan Islam jauh-jauh dan mempersetankannya. Partai yang dipengaruhi oleh ide Sosialisme dan Marxisme ini didirikan oleh Michael Aflaq, seorang Kristen Ortodoks (Maronit) yang punya komitmen kuat kepada Gereja Timur. Menurut Kholid Mawardi mantan Dubes Indonesia di Syiria, Abdurrahman Wahid bukan saja tertarik pada partai ini, bahkan ia menjadi anggota inti partai. 

Sepulang dari kuliah di luar negeri pada tahun 1974, Gus Dur memulai karirnya sebagai „Cendekiawan‟ dengan menulis di berbagai kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an suami Shinta Nuriyah ini mengukuhkan diri sebagai salah satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang terkenal dan laris sebagai pembicara publik. 

Dia juga diamanahi oleh yayasan Alumni Timur Tengah untuk mengelola sebuah pesantren di kawasan Ciganjur Jakarta selatan. Sayangnya amanat ini tidak pernah dilaksanakan dengan baik melainkan ia sibuk di luar. Berkali-kali ia diingatkan akan amanatnya, namun tidak ada jawaban yang pasti. Setelah masalah ini berlarut-larut dan memakan waktu bertahun-tahun akhirnya ia pun hengkang dari situ kemudian tidak meninggalkan satupun santri. 

Gus Dur yang pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar tapi tidak tamat itu kemudian berkecimpung di dunia seni dengan menjadi DPH Dewan Kesenian Jakarta di Taman Isma‟il Marzuki Jakarta (1983-1985) dan Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) dan Badan Sensor Film (BSF). Tahun 1984 melalui dukungan Leonardus Benny Moerdani, Jendral Katolik yang pernah membantai ratusan umat Islam pada peristiwa Tanjung Priok naiklah Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama dengan menggeser KH. Idham Kholid yang masih banyak pengaruhnya di Nahdlatul Ulama dengan bertujuan menghancurkan sayap politik Nahdlatul Ulama. 

Pada tahun 1995 dalam Muktamar Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya Jawa Barat ia terpilih kembali menjadi Ketua Nadlatul Ulama. Yang menarik, ternyata semua ini tidak terlepas dari dukungan kelompok Katholik dan LSM, seperti Marsilam Simanjutak (Katholik), Hary Tjan Silalahi (CSIS), Sae Nabahon (Kristen) dan Rahman Toleng (tokoh Sosialis).

Untuk merayakan kemenanganya diadakan pesta meriah di Adelanta Discotheque yang biasa digunakan untuk dansa dan tempat pelacuran, yang dihadiri hampir semua LSM. 

Karir Gus Dur kian melonjak, setelah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, loyalitas Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibi mendirikan ICMI, Gus Dur menentangnya dengan mendirikan FORDEM (Forum Demokrasi) sebuah LSM yang sengaja dibentuk untuk menggoyangkan kepemimpinan Soeharto paska ijo royo-royo 1992. Para aktivis FORDEM ini terdiri kelompok Katholik, Marhaenis, Nasionalis Sekuler, kelompok Sosialis serta kaum kiri lainnya. Kesemuanya menjadi ujung tombak gerakan oposisi dalam menentang pemerintah. Sikap itu berlangsung sampai pemerintahan Soeharto. Dan sekarang ini menjadi senjata kelompok sekuler untuk menghantam Islam.

Wallahu a'lam bishowab

Sekte Gusdurian, bertobatlah sekarang (2)


( source : Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU)


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.