Abdurrahman Wahid, seorang pelopor Islam Liberal di
Indonesia (Greg Barton). Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang,
Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940 M. Putra tertua dari
pasangan KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Pendidikannya
dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Jakarta pada tahun 1953,
kemudian masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di
Yogyakarta tamat tahun 1956 dan mengaji di pondok pesantren milik
KH. Ali Ma‟shum. Kemudian di pondok Tegalrejo Magelang, lalu
pindah ke pondok pesantren Tambak Beras Jombang pada tahun
1959-1963.
Guru privat bahasa Inggrisnya adalah seorang tokoh GERWANI
(Gerakan Wanita Indonesia) sebuah organisasi mantel PKI (Partai
Komunis Indonesia) yang melahirkan tragedy gerakan 30 September
1965 yang kelam itu. Pada waktu menjadi murid SMEP ia sudah hafal
jumlah pidato Joseph Stalin dalam bahasa Inggris. Di majalah Tempo
1997, ia pernah menulis sebuah artikel yang salah satu isinya
menyatakan semenjak bersentuhan dengan Marxisme pandangannya
tehadap agama Islam mengalami „perubahan'.
Kemudian ia melanjutkan studinya ke Mesir (1964-1966) di sini
ia gagal dan tidak bisa melanjutkan. Lalu ia terbang ke Baghdad dan
masuk Fakultas Adab (1966-1970), namun di situ pun tidak serius
belajar justru lebih sibuk berhubungan dengan partai Ba'aths, sebuah
partai nasionalis yang menyerukan revolusi total dalam konsep dan
nilai-nilai peradaban untuk dilebur dan dialihkan ke pangkuan
sosialisme.
Partai Ba'aths berpegang pada ide sekuler yang melemparkan
Islam jauh-jauh dan mempersetankannya. Partai yang dipengaruhi
oleh ide Sosialisme dan Marxisme ini didirikan oleh Michael Aflaq,
seorang Kristen Ortodoks (Maronit) yang punya komitmen kuat
kepada Gereja Timur. Menurut Kholid Mawardi mantan Dubes
Indonesia di Syiria, Abdurrahman Wahid bukan saja tertarik pada
partai ini, bahkan ia menjadi anggota inti partai.
Sepulang dari kuliah di luar negeri pada tahun 1974, Gus Dur
memulai karirnya sebagai „Cendekiawan‟ dengan menulis di
berbagai kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir
dasawarsa 70-an suami Shinta Nuriyah ini mengukuhkan diri sebagai
salah satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang terkenal dan
laris sebagai pembicara publik.
Dia juga diamanahi oleh yayasan Alumni Timur Tengah untuk
mengelola sebuah pesantren di kawasan Ciganjur Jakarta selatan.
Sayangnya amanat ini tidak pernah dilaksanakan dengan baik
melainkan ia sibuk di luar. Berkali-kali ia diingatkan akan
amanatnya, namun tidak ada jawaban yang pasti. Setelah masalah ini
berlarut-larut dan memakan waktu bertahun-tahun akhirnya ia pun
hengkang dari situ kemudian tidak meninggalkan satupun santri.
Gus Dur yang pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar tapi
tidak tamat itu kemudian berkecimpung di dunia seni dengan
menjadi DPH Dewan Kesenian Jakarta di Taman Isma‟il Marzuki
Jakarta (1983-1985) dan Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia
(FFI) dan Badan Sensor Film (BSF). Tahun 1984 melalui dukungan
Leonardus Benny Moerdani, Jendral Katolik yang pernah membantai
ratusan umat Islam pada peristiwa Tanjung Priok naiklah
Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul
Ulama dengan menggeser KH. Idham Kholid yang masih banyak
pengaruhnya di Nahdlatul Ulama dengan bertujuan menghancurkan
sayap politik Nahdlatul Ulama.
Pada tahun 1995 dalam Muktamar Nahdlatul Ulama di
Tasikmalaya Jawa Barat ia terpilih kembali menjadi Ketua Nadlatul
Ulama. Yang menarik, ternyata semua ini tidak terlepas dari
dukungan kelompok Katholik dan LSM, seperti Marsilam Simanjutak
(Katholik), Hary Tjan Silalahi (CSIS), Sae Nabahon (Kristen) dan
Rahman Toleng (tokoh Sosialis).
Untuk merayakan kemenanganya diadakan pesta meriah di
Adelanta Discotheque yang biasa digunakan untuk dansa dan tempat
pelacuran, yang dihadiri hampir semua LSM.
Karir Gus Dur kian melonjak, setelah terpilih sebagai Ketua
Umum PBNU pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu
hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati
dalam perjalanan selanjutnya, loyalitas Gus Dur tak selalu
berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah
berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di
Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibi
mendirikan ICMI, Gus Dur menentangnya dengan mendirikan
FORDEM (Forum Demokrasi) sebuah LSM yang sengaja dibentuk
untuk menggoyangkan kepemimpinan Soeharto paska ijo royo-royo
1992. Para aktivis FORDEM ini terdiri kelompok Katholik,
Marhaenis, Nasionalis Sekuler, kelompok Sosialis serta kaum kiri
lainnya. Kesemuanya menjadi ujung tombak gerakan oposisi dalam
menentang pemerintah. Sikap itu berlangsung sampai pemerintahan
Soeharto. Dan sekarang ini menjadi senjata kelompok sekuler untuk
menghantam Islam.
Wallahu a'lam bishowab
Sekte Gusdurian, bertobatlah sekarang (2)
( source : Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.