SALAH satu media di Jakarta beberapa hari yang lalu memberitakan
bahwa pemikiran yang dikembangkan oleh Islam Nusantara memiliki
kemiripan dengan metode yang telah dilakukan kelompok JIL (Jaringan
Islam Liberal). Bahkan dalam pemberitaan itu diakhiri dengan sebuah
pandangan bahwa lahirnya Islam Nusantara merupakan respon dan sebuah
upaya untuk membendung gerakan Wahabi.
Untuk membuktikan pemikiran itu, maka akan ditelusuri bagaimana
pandangan beberapa pemikiran pengusung Islam Nusantara dalam merespon
gerakan wahabi itu.
Sebagaimana umum dipahami bahwa salah satu di antara pemikiran yang
dikembangkan pendukung Islam Nusantara adalah pentingnya eksistensi
budaya lokal. Mereka menginginkan budaya lokal bisa terjamin dan hidup
berdampingan di masyarakat tanpa gangguan. Sementara kelompok Wahabi
secara jelas menjamin eksistensi budaya lokal, asal budaya lokal itu
tidak bertentangan nilai-nilai Islam.
Apa yang disinyalir oleh media cetak di Jakarta tentang kemiripan JIL
dengan Islam Nusantara, maka bisa ditunjukkan, setidaknya dengan dua
indikator. Pertama, Islam Nusantara mengidentifikasi, bahkan mengklaim
dirinya berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam Timur Tengah
dianggap keras, radikal dan intoleran, sehingga tidak cocok dengan
masyarakat Nusantara yang sopan, lembut, dan santun.
Kedua, Islam Nusantara bisa berdialog dan menjamin kehidupan tradisi
dan budaya lokal. Hal ini sungguh berbeda dengan gaya Islam Timur
Tengah, yang menurut anggapan penganut Islam Nusantara, merupakan
ancaman terhadap tradisi atau budaya lokal. Menjamin keberlangsungan
tradisi lokal inilah yang dijadikan barang kemasan untuk menarik minat
masyarakat Indonesia yang memiliki budaya yang sangat beragam.
Namun yang agak berbeda, Islam Nusantara mensosialisasikan sedemikian
terbuka dan masif, serta dalam kadar tertentu, begitu percaya diri
karena memperoleh dukungan dan justifikasi dari kekuasaan. Pandangan
yang sangat percaya diri ini dikhawatirkan munculnya gesekan dan
sejumlah anomali yang berujung pada perlawanan balik pihak lain yang
merasa terusik. Perlawanan balik yang begitu dahsyat itu disebabkan oleh
kesalahan strategi dalam melempar amunisi.
Amunisi yang dilemparkan kelompok Islam Nusantara adalah tema-tema
yang sudah diketahui dan dipahami sebagai kebenaran umum. Martir yang
dilontarkan oleh beberapa pengusung Islam Nusantara secara bertubi-tubi,
misalnya, justru menghantam balik dirinya dan penggagas Islam
Nusantara secara umum.
Langgam Jawa dalam membaca Al-Qur’an, ikut tahlilan sebagai parameter
Pancasilais, syetan ikut shalat berjamaah, malaikat Munkar Nakir antri
di makam Gus Dur, dan semakin panjang jenggot menunjukkan kebodohan
seseorang, merupakan gagasan-gagasan yang justru kontra produktif.
Bola-bola panas yang dilempar ini bukan mempermulus gagasan Islam
Nusantara, tetapi justru merugikan dan melemahkan gagasannya, serta pada
kurun waktu tertentu menanam bom waktu.
Sementara apa yang didakwahkan oleh para pengusung dakwah Islam, yang
disinyalir sebagai penganut wahabi, justru memperoleh simpati
masyarakat pada umumnya.
Dakwah wahabi sudah sedemikian besar dan masif serta masuk ke
berbagai level sosial, sehingga kelompok Islam Nusantara, seolah-olah
merasa kehabisan akal untuk membendungnya. Maka tidak heran bila
serangan-serangan terhadap gerakan wahabi terlihat kalut.
Sementara masyarakat sekarang sudah banyak yang terdidik sehingga
bisa memilih pandangan yang memiliki dasar-kuat, dan mana yang
emosional-kalut.
Apa yang diperjuangkan oleh pengusung Islam Nusantara memang tidak
berbeda dengan apa yang telah dilalui oleh JIL. Kalau JIL memperjuangkan
liberalisasi pemikiran sehingga melahirkan sejumlah konsep seperti
sekularisme, pluralisme, kesetaraan Gender, hermeneutika, HAM,
multikulturalisme, hingga nikah beda agama, maka Islam Nusantara justru
secara vulgar mengajak untuk “berperang terbuka” terhadap
gerakan-gerakan dakwah Islam yang disinyalir sebagai gerbong Wahabi.
Apa yang dilontarkan pengusung Islam Nusantara kurang begitu dikemas
dengan baik, dan secara kasat mata, sehingga masyarakat umum
mengetahuinya sebagai produk gagal dan mengajak bermusuhan terhadap
kelompok lain.
Pada saat sama, gerbong Wahabi sudah sedemikian masif dan tersebar
secara luas mulai dari akar rumput hingga pusat pemerintahan,
masjid-musholla hingga lembaga pendidikan-pesantren, dan radio-televisi
hingga buletin-majalah.
Gerakan untuk mengajarkan umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah begitu massif tanpa ada organisasi formal sebagai payung dan
penggeraknya. Belum lagi ditopang oleh media sosial yang begitu murah,
singkat dan cepat dalam memberikan dan mengajarkan pesan-pesan dakwah.
Hal ini semakin membuat gerakan wahabi ini sulit dibendung. Belum
lagi lulusan Timur Tengah dengan gelar Lc, Master hingga Doktor dengan
berbagai disiplin ilmu (tafsir, sejarah, hukum, hadits, dan sebagainya)
semakin memperkuat basis keilmuan dan keilmiahan dalam menjawab berbagai
persoalan dan syubhat (keraguan) yang menyebar di masyarakat.
Oleh karena itu, ketika muncul gagasan langgam Jawa dalam melagukan
Al-Qur’an, sampai tidaknya bacaan Al-fatihah untuk orang yang sudah
meninggal, tahlilan sebagai parameter pancasilais, serta syetan yang
ikut shalat jamaah, maka dalam hitungan jam sudah ada bantahan terhadap
gagasan yang dianggap nyeleneh itu.
Penjelasan dan bantahan melalui media sosial seperti facebook, bbm,
whattsapp, telegram dan lainnya ikut mempercepat proses meneguhkan atau
membantah sebuah pandangan. Bahkan ketika seorang tokoh mengatakan
sesuatu dengan mengutip sebuah buku atau kitab, maka hari berikutnya
sudah muncul penjelasan yang mendudukkan pandangan yang sebenarnya serta
meluruskan pandangan yang benar dari buku yang dirujuk.
Masyarakat saat ini sudah terbiasa dan terdidik untuk meminta rujukan
atau dalil sebelum menerima sebuah ajaran, perintah atau larangan.
Tidak seperti kondisi masyarakat sebelum era reformasi, dimana mereka
langsung menerima apa yang disampaikan oleh guru, ustadzn atau kiainya
tanpa mempertanyakan ulang dasar dan rujukannya.
Oleh karena itu, gerakan untuk memasarkan gagasan kepada masyarakat
luas bertujuan berdakwah atau menghasut kelompok maka masyarakat sudah
cerdas dan cerdik dalam menilainya.
Penulis Bina Qalam Indonesia dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Wallahu a'lam bishowab
source : https://www.islampos.com/islam-nusantara-dan-arus-gerakan-wahabi-214549/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.