nu1926

Perpolitikan NU

1. NU dan Masyumi
Awal perjalan politik raktis NU diawali pada tahun 1945, ketika bersama-sama organisasi Islam lainnya membentuk partai yang disebut Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945. NU menjadi anggota istimewa dan mendapat jatah kursi di Majlis Syuro. Dalam anggaran rumah tangga Masyumi, peranan Majlis Syuro disebutkan antara lain:
  1. Majlis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada pimpinan partai
  2. Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama maka pimpinan partai meminta fatwa dari Majlis Syuro
  3. Keputusan Majlis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai
  4. Jika Muktamar/Dewan Partai berpendapat lain daripada keputusan Majlis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusn untuk berunding dengan Majlis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi
Dengan melihat anggaran rumah tangga tersebut, NU menganggap posisi Majlis Syuro cukup strategis. Agaknya hal ini yang membuat NU cukup puas dengan komposisi kepengurusan yang ada meskipun tak satu anggota NU yang duduk di kursi eksekutif partai.
Munculnya Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah aspirasi politik Islam memang mampu menyatukan kelompok-kelopom Islam yang berbeda paham. Tercata hanya Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) yang tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi. Tetapi persatuan itu sebenarnya tidak berhasil melebur perbedaan visi kegamaan yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perpecahan. Keadaan ini diperparah dengan tidak meratanya distribusi kekuasaan antar kelompok, sehingga menimbulkan ketidakpuasan. Pada tahun 1947 beberap tokoh SI seperti Arudji Kartawinata dan Wondoamiseno keluar dari Masyumi dan mendirikan PSII (Partai Serikat Islam Indonesia). Dan dengan keluarnya PSII hancurlah mitos, Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam.

2. NU keluar dari Masyumi
Dalam Muktamar Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi. Hal ini disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi menganggap Majlis Syuro sebagai dewan tertinggi. Meskipun secara formal Anggaran Rumah Tangga masih seperti semula tetapi pada praktiknya Majlis Syuro hanya dijadikan sebagai dewan penasehat yang keputusannya tidak mengikat, hal mana mengakibatkan kekecewaan NU dalam Masyumi. 

Kekecewaan itu juga dipicu oleh persoalan distribusi kekuasaan. Selama tiga kali pembagian kursi kabinet, NU selalu mendapat satu jatah, yaitu kursi menteri agama. Hal itu dapat dimaklumi karena NU memang miskin tenaga ahli yang terampil untuk memimpin suatu kementerian. Dan hanya menteri agama yang kiranya dapat diandalkan, karena NU merasa mempunyai tenaga untuk itu, karena itu dalam kabinet Wilopo tahun 1952 NU menghendaki agar kursi menteri agama tetap menjadi bagiannya. Tetapi sebagian besar anggota Masyumi tidak menyetujui hak itu, karena NU sudah tiga kali berturut-turut memegang jabatan menteri agama. Akhirnya melalui keputusan rapat keinginan NU ditolak dan inilah yang memicu keluarnya NU dari Masyumi.

3. NU sebagai partai politik
Setelah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri pada tahun 1952, NU segera disibukkan dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955. Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika dbandingkan dengan partai-partai besar lainnya. 

Namun demikian NU berhasil meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9 suara (57 kursi).

4. NU dan PPP
Setelah melalui perundingan intensif, empat partai Islam yaitu NU Parmusi, PSII dan Perti sepakat melakukan fusi yang dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa keempat partai Islam telah seia sekata untuk memfusikan diri politiknya dalam suatu partai politik yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Segala kegiatan non politik tetap dikerjakan dan dilaksanakan oraganisasi masing-masing sebagaimana sedia kala.

Fusi parta-pratai Islam pada awalnya menguntungkan NU, karena fusi itu dilakukan tatkala NU berhasil memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain. Pada pemilu 1971 NU memperoleh 18,4 persen, Parusi 6,3 pesen, PSII 2,3 persen dan Perti 0,7 persen. Dengan perimbangan suara seperti ini, NU mendapat 58 kursi atau 61,7 persen dari keseluruhan kursi partai Islam sebanyak 94 kursi. Meskipun NU memperoleh suara mayoritas namun jabatan ketua umum Dewan Pimpinan pUsat dipegang orang non NU yaitu HMS Mintaredja dari Parmusi. Sedang NU hanya mendapat jatah jabatan yang bersifat prestisius belaka.

Selam berfusi dalam PPP, tercatat NU mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintah. Pertama, ketika KH Bisyri Syansuri menolak Rancangan Undang Undang Perkawinan 1973. Kedua, ketika NU dalam PPP melakukan walk out ketika sidang hendak memutuskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dan masuknya Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa ke dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kalangan PPP, khususnya NU, khawatir menjadi syirik. Sikap ini dipelopori oleh KH Bisyri Syansuri

Pada tahun 1975 Dewan Partai PPP mengadakan sidang dengan mengambil keputusan yang dikenal dengan “konsensus 1975”. Dalam konsensus 1975 disepakati distribusi kekuatan antar unsur partai sesuai dengan perimbangan yang dihasilkan dalam pemilu 1971. Tetapi ketika PPP dalam pemilu 1977 mendapat tambahan 5 kursi justru jatah NU dikurangi dua. Sementara Parmusi mendapat tambahan 1 kursi, SI 4 kursi dan Perti 2 Kursi. Dan perimbangan suara PPP setelah Pemilu 1977 adalah NU 56, Parmusi 25, SI 14 dan Perti 4 kursi.

Menjelang Pemilu 1982 Parmusi menuntut perubahan perimbangan suara dengan mengurangi dominasi NU di PPP. Parmusi menghendaki perimbangan itu menjadi NU 49, parmusi 30, SI 15 dan Perti 5. Dengan asumsi hasil Pemilu sama dengan sebelumnya, 49 suara tidak akan mencapai 50 persen. Tuntutan ini tentu saja tidak dapat diterima NU. akhirnya terjadi konflik antara NU dan unsur-unsur lain, terutama Parmusi. Dengan dukungan pejabat pemerintah, Parmusi berhasil mengurangi kekuatan NU. pada Pemilu 1982 kurang lebih 29 tokoh NU tergusur dari nominasi calon terpilih mewakili PPP. Peristiwa ini tentu mengecewakan NU dan kemudian memunculkan gagasan untuk meninjau kembali status dan eksistensi NU di PPP yang sebenarnya sudah lama dipertimbangkan oleh beberapa kalangan dalam NU.

5. NU keluar dari PPP
Gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial kegamaan telah muncul sejak Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Ada dua alternatif yang ditawarkan pada waktu itu untuk mengembalikan NU sebagai organisasi soaial keagamaan. 

Pertama, mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan menyerahkan kepada politisi NU untuk membentuk wadah baru sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan NU. 

Kedua, membentuk semacam biro politik dalam NU. Biro ini berada dalam struktur NU yang mengurusi soal-soal politik. Sedang NU sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan bukan sebagai partai politik. Namun gagasan ini tidak mendapat tanggapan peserta Muktamar.

Dalam dua kali muktamar gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan tidak mendapat perhatian peserta. Pada Muktamar ke 26 tahun 1979 di Semarang gagasan itu memperoleh dukungan dari muda profesional. Kembali ke bentuk jam’iyah dirumuskan sebagai usaha menghidupkan kembali bidang garapan NU yang non politik yang selama ini terbengkalai, seperti kepemudaan, kebudayaan, buruh, tani dan nelayan, kaderisasi dan bidang pembentukan kepribadian. Akan tetapi keputusan Muktamar tidak menyinggung bagaimana hubungan NU dengan PPP. Hal ini dapat diartikan bahwa sampai Muktamar ke 26 NU masih berafiliasi dengan PPP.

Keputusan Muktamar Semarang menunjukkan tidak adanya kesamaan pandangan di kalangan NU tentang hubungan NU dan PPP. Namun ada arus kuat yang menghendaki agar NU melepaskan diri dari PPP jika ingin kembali kepada semangat jiwa 1926 waktu pertama kali NU didirikan. Namun arus tersebut menghadapi tembok kokoh karena kepengurusan formal NU masih dikuasai orang-orang yang punya kecenderungan politis praktis. Akan tetapi ketika konflik dalam PPP memuncak antara NU dan kelompok lain, terutama MI, serta rasa kecemasan karena tekanan-tekanan politik pemerintah dan aparat-aparatnya di tingkat bawah, maka keinginan untuk merealisasikan gagasn kembali ke bentuk organisasi sosial keagamaan semakin mudah. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo dan dikukuhkan dalam Muktamar 1984 di tempat yang sama, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lain. Dengan kata lain Muktamar mememutuskan, NU tidak lagi berafiliasi dengan PPP.

 6. NU menggembosi PPP
Dengan keputusannya lewat muktamar Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP. 

Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah 1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Terkait lahirnya sejumlah parpol yang saling mengklaim sebagai partainya warga NU di awal reformasi, Gus Dur pernah berkomentar, “NU itu ibarat ayam, dari pantatnya keluar telur dan tai ayam. Yang telur itu PKB, yang partai lain itu tai ayam.”

Itulah NU dengan PKB


Wallahu a'lam bishowab

sumber ; https://mazinov.wordpress.com/2014/01/16/perjalanan-sejarah-politik-nu-sejak-berdiri-hingga-keputusan-kembali-ke-khittah/  
 http://www.masjumat.com/2014/01/25/mengapa-kyai-aswaja-nu-begitu-takut-dengan-wahabi/#comment-5693

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.