1. NU dan Masyumi
Awal perjalan politik raktis NU diawali
pada tahun 1945, ketika bersama-sama organisasi Islam lainnya membentuk
partai yang disebut Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang
diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945. NU menjadi anggota istimewa
dan mendapat jatah kursi di Majlis Syuro. Dalam anggaran rumah tangga
Masyumi, peranan Majlis Syuro disebutkan antara lain:
- Majlis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada pimpinan partai
- Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama maka pimpinan partai meminta fatwa dari Majlis Syuro
- Keputusan Majlis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai
- Jika Muktamar/Dewan Partai berpendapat lain daripada keputusan Majlis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusn untuk berunding dengan Majlis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi
Dengan melihat anggaran rumah tangga
tersebut, NU menganggap posisi Majlis Syuro cukup strategis. Agaknya hal
ini yang membuat NU cukup puas dengan komposisi kepengurusan yang ada
meskipun tak satu anggota NU yang duduk di kursi eksekutif partai.
Munculnya Partai Masyumi sebagai
satu-satunya wadah aspirasi politik Islam memang mampu menyatukan
kelompok-kelopom Islam yang berbeda paham. Tercata hanya Perti
(Persatuan Tarbiyah Indonesia) yang tidak bersedia bergabung ke dalam
Masyumi. Tetapi persatuan itu sebenarnya tidak berhasil melebur
perbedaan visi kegamaan yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi
perpecahan. Keadaan ini diperparah dengan tidak meratanya distribusi
kekuasaan antar kelompok, sehingga menimbulkan ketidakpuasan. Pada tahun
1947 beberap tokoh SI seperti Arudji Kartawinata dan Wondoamiseno
keluar dari Masyumi dan mendirikan PSII (Partai Serikat Islam
Indonesia). Dan dengan keluarnya PSII hancurlah mitos, Masyumi sebagai
satu-satunya partai Islam.
2. NU keluar dari Masyumi
Dalam Muktamar Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari
Masyumi. Hal ini disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi
menganggap Majlis Syuro sebagai dewan tertinggi. Meskipun secara formal
Anggaran Rumah Tangga masih seperti semula tetapi pada praktiknya Majlis
Syuro hanya dijadikan sebagai dewan penasehat yang keputusannya tidak
mengikat, hal mana mengakibatkan kekecewaan NU dalam Masyumi. Kekecewaan itu juga dipicu oleh persoalan distribusi kekuasaan. Selama tiga kali pembagian kursi kabinet, NU selalu mendapat satu jatah, yaitu kursi menteri agama. Hal itu dapat dimaklumi karena NU memang miskin tenaga ahli yang terampil untuk memimpin suatu kementerian. Dan hanya menteri agama yang kiranya dapat diandalkan, karena NU merasa mempunyai tenaga untuk itu, karena itu dalam kabinet Wilopo tahun 1952 NU menghendaki agar kursi menteri agama tetap menjadi bagiannya. Tetapi sebagian besar anggota Masyumi tidak menyetujui hak itu, karena NU sudah tiga kali berturut-turut memegang jabatan menteri agama. Akhirnya melalui keputusan rapat keinginan NU ditolak dan inilah yang memicu keluarnya NU dari Masyumi.
3. NU sebagai partai politik
Setelah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri pada tahun 1952, NU segera disibukkan dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955. Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika dbandingkan dengan partai-partai besar lainnya.
Namun demikian NU berhasil meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9 suara (57 kursi).
4. NU dan PPP
Setelah melalui perundingan intensif,
empat partai Islam yaitu NU Parmusi, PSII dan Perti sepakat melakukan
fusi yang dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi
tersebut menyatakan bahwa keempat partai Islam telah seia sekata untuk
memfusikan diri politiknya dalam suatu partai politik yang diberi nama
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Segala kegiatan non politik tetap
dikerjakan dan dilaksanakan oraganisasi masing-masing sebagaimana sedia
kala.
Fusi parta-pratai Islam pada awalnya
menguntungkan NU, karena fusi itu dilakukan tatkala NU berhasil
memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain. Pada pemilu 1971
NU memperoleh 18,4 persen, Parusi 6,3 pesen, PSII 2,3 persen dan Perti
0,7 persen. Dengan perimbangan suara seperti ini, NU mendapat 58 kursi
atau 61,7 persen dari keseluruhan kursi partai Islam sebanyak 94 kursi.
Meskipun NU memperoleh suara mayoritas namun jabatan ketua umum Dewan
Pimpinan pUsat dipegang orang non NU yaitu HMS Mintaredja dari Parmusi.
Sedang NU hanya mendapat jatah jabatan yang bersifat prestisius belaka.
Selam berfusi dalam PPP, tercatat NU
mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintah. Pertama, ketika KH
Bisyri Syansuri menolak Rancangan Undang Undang Perkawinan 1973. Kedua,
ketika NU dalam PPP melakukan walk out ketika sidang hendak
memutuskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dan masuknya
Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa ke dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Kalangan PPP, khususnya NU, khawatir menjadi
syirik. Sikap ini dipelopori oleh KH Bisyri Syansuri
Pada tahun 1975 Dewan Partai PPP
mengadakan sidang dengan mengambil keputusan yang dikenal dengan
“konsensus 1975”. Dalam konsensus 1975 disepakati distribusi kekuatan
antar unsur partai sesuai dengan perimbangan yang dihasilkan dalam
pemilu 1971. Tetapi ketika PPP dalam pemilu 1977 mendapat tambahan 5
kursi justru jatah NU dikurangi dua. Sementara Parmusi mendapat tambahan
1 kursi, SI 4 kursi dan Perti 2 Kursi. Dan perimbangan suara PPP
setelah Pemilu 1977 adalah NU 56, Parmusi 25, SI 14 dan Perti 4 kursi.
Menjelang Pemilu 1982 Parmusi menuntut
perubahan perimbangan suara dengan mengurangi dominasi NU di PPP.
Parmusi menghendaki perimbangan itu menjadi NU 49, parmusi 30, SI 15 dan
Perti 5. Dengan asumsi hasil Pemilu sama dengan sebelumnya, 49 suara
tidak akan mencapai 50 persen. Tuntutan ini tentu saja tidak dapat
diterima NU. akhirnya terjadi konflik antara NU dan unsur-unsur lain,
terutama Parmusi. Dengan dukungan pejabat pemerintah, Parmusi berhasil
mengurangi kekuatan NU. pada Pemilu 1982 kurang lebih 29 tokoh NU
tergusur dari nominasi calon terpilih mewakili PPP. Peristiwa ini tentu
mengecewakan NU dan kemudian memunculkan gagasan untuk meninjau kembali
status dan eksistensi NU di PPP yang sebenarnya sudah lama
dipertimbangkan oleh beberapa kalangan dalam NU.
5. NU keluar dari PPP
Gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial kegamaan telah
muncul sejak Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Ada dua alternatif yang
ditawarkan pada waktu itu untuk mengembalikan NU sebagai organisasi
soaial keagamaan.
Pertama, mengembalikan NU sebagai organisasi sosial
keagamaan dan menyerahkan kepada politisi NU untuk membentuk wadah baru
sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan NU.
Kedua, membentuk
semacam biro politik dalam NU. Biro ini berada dalam struktur NU yang
mengurusi soal-soal politik. Sedang NU sendiri sebagai organisasi sosial
keagamaan bukan sebagai partai politik. Namun gagasan ini tidak
mendapat tanggapan peserta Muktamar.
Dalam dua kali muktamar gagasan untuk
mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan tidak mendapat
perhatian peserta. Pada Muktamar ke 26 tahun 1979 di Semarang gagasan
itu memperoleh dukungan dari muda profesional. Kembali ke bentuk jam’iyah dirumuskan
sebagai usaha menghidupkan kembali bidang garapan NU yang non politik
yang selama ini terbengkalai, seperti kepemudaan, kebudayaan, buruh,
tani dan nelayan, kaderisasi dan bidang pembentukan kepribadian. Akan
tetapi keputusan Muktamar tidak menyinggung bagaimana hubungan NU dengan
PPP. Hal ini dapat diartikan bahwa sampai Muktamar ke 26 NU masih
berafiliasi dengan PPP.
Dengan keputusannya lewat muktamar Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP.
Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah 1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Terkait lahirnya sejumlah parpol yang saling mengklaim sebagai partainya warga NU di awal reformasi, Gus Dur pernah berkomentar, “NU itu ibarat ayam, dari pantatnya keluar telur dan tai ayam. Yang telur itu PKB, yang partai lain itu tai ayam.”
Itulah NU dengan PKB
Wallahu a'lam bishowab
sumber ; https://mazinov.wordpress.com/2014/01/16/perjalanan-sejarah-politik-nu-sejak-berdiri-hingga-keputusan-kembali-ke-khittah/
http://www.masjumat.com/2014/01/25/mengapa-kyai-aswaja-nu-begitu-takut-dengan-wahabi/#comment-5693
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan komentar yang santun, karena itulah pribadi anda sebenarnya.